Keputusan KPPU Tentang Kartel Daging Tidak Memberikan Rasa Keadilan

Keputusan Majelis Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU)  menjatuhkan sanksi kepada 32 perusahaan Pengemukan sapi  yang dituduhkan melakukan praktek kartel perdagangan sapi untuk memasok kebutuhan daging sapi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).

Majelis komisi memutuskan bahwa terlapor 1 sampai terlapor 32 terbukti melanggar pasal 11 dan pasal 19 huruf c UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tak Sehat,” di kantor KPPU, Jakarta, Jumat (22/4/16). Sehingga dikenakan sangsi   pada terlapor dengan kisaran  denda terendah sebesar Rp 194 juta, dan tertinggi sebesar Rp 21 miliar.

Keputusan KPPU tersebut tidak memberikan rasa keadilan, dan tanpa  didasari bukti-bukti bahkan cenderung memutarbalikkan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan. Demikian yang disampaikan Joni Liano, Direktur Eksekutif  Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo) di Jakarta, Selasa (3/5/16).

Bahwa industri penggemukan sapi potong merupakan “Highly Regulated Industry”,  artinya semua kegiatan industri sapi potong diatur oleh Pemerintah seperti quota impor untuk masing-masing Perusahaan ditetapkan oleh Pemerintah.

Proses penggemukan pun diatur dalam UU No 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dan usaha penggemukan sapi potong sangat terbuka bagi siapa saja bisa masuk pada bisnis ini, sehingga tidak ada ruang bagi Industri ini melakukan Kartel.

Sesungguhnya KPPU tidak mengerti dan tidak memahami Nature Bisnis Industri Feedlotter dalam melakukan usaha ini sehingga keputusan yang dihasilkan sangat lemah, demikian Joni Liano menambahkan.

Beberapa hal keputusan yang janggal menurut Joni Liano, antara lain:  Mengenai penjualan sapi, Majelis berpendapat bahwa penurunan quota yang diikuti penjadwalan ulang penjualan, dianggap sebagai pengaturan penjualan dan menghalangi pasokan sapi serta kenaikan kurs tidak berpengaruh secara signifikan terhadap harga jual sapi.

Tuduhan pengaturan penjualan tidak berdasar dan sangat lemah. Sebab jika  mengacu pada UU No 41 tahun 2014 Tentang Peternakan,  dimana sapi bakalan yang di import harus dilakukan proses penggemukan selama 4 bulan.

Feedlotter berkewajiban untuk menggemukan  selama 4 bulan dan waktu pemberian izin impor pun diatur masa berlakunya setiap 4 bulan. Sehingga jelas bahwa regulasi tersebut sangat terkait dengan waktu penggemukan dan pemeberian izin yang akan mempengaruhi produksi dan penjualan. Feedlotter akan menderita kerugian bila menahan sapi yang siap di potong karena akan menambah beban biaya.

daging sapi pasar ciracas
daging sapi pasar ciracas

Keputusan tentang  pasar geografis adalah Jabodetabek dan bukan seluruh Indonesia dengan alasan konsumen di Jabodetabek lebih banyak mengkomsumsi daging sapi, serta pemogokan RPH yang terjadi di wilayah tersebut.

Pendapat Majelis Komisi telah mengenyampingkan ketentuan dalam pedoman Pasal 11 yang dibuat oleh KPPU yang menyatakan bahwa pasar geografis adalah pasar dari Pelaku Usaha, bukan pasar dari konsumen atau pasar RPH. Diantara 32 terlapor ternyata  memiliki pasar diluar Jabodetabek seperti Bandung Raya, Banten dan Sumatera.

Mengenai perhitunggan denda, secara formil, Majelis Komisi gagal dalam menjabarkan alasan-alasan secara detail dibalik penentuan besaran jumlah denda yang dijatuhkan. Kesalahan tidak bisa tentukan berdasarkan dengan jumlah quota impor yang didapat dari masing-masing perusahaan.

Ada Perusahaan BUMN yang menjual sapi di Jabodetabek namun tidak dikenakan sangsi apa-apa, padahal aktifitas perusahaan tersebut sama dengan 32 perusahaan terlapor.

Untuk  pengaturan quota impor per masing-masing Perusahaan ditetapkan oleh Kementerian Pertanian yang berkoordinasi dengan Kementrian Perdagangan. Sistem tersebut telah berjalan dengan baik sehingga tidak ada ruang bagi Asosiasi menentukan pembagian quota impor per perusahaan.

Sistem dalam aturan yang dibuat Pemerintah gagal dipahami oleh KPPU dimana KPPU menuduh bahwa quota impor diatur oleh Asosiasi adalah salah, demikian Joni Liano menambahkan.

Mengenai usulan KPPU yang meminta  Pemerintahan untuk menghapuskan quota impor adalah pernyataan kontradiktif, sebab tuduhan dari KPPU yang berawal dari persoalan quota pada 32 terlapor.

Ini menunjukkan  KPPU mengakui bahwa kasus ini adalah murni kesalahan Pemerintah tapi yang dikambing hitamkan adalah pelaku usaha  penggemukan sapi yang jelas jelas hanya sebagai operator menjalankan kebijakan Pemerintah.

Majelis  KPPU  menyatakan ketidak wajaran tentang harga. Harga  sangat ditentukan pada penawaran dan permintaan, sedang penyediaan sapi bakalan impor hanya sebesar 18% dan 82%  dari sapi lokal terhadap kebutuhan daging sapi nasional. Ini menunjukkan sapi impor tidak mempunyai kekuatan dalam mempengaruhi harga daging di pasar.

Melihat beberapa pertimbangan keputusan yang janggal tersebut, 32 perusahaan terlapor melakukan upaya banding ke Pengadilan Negeri, sebab kami ingin keadilan benar-benar ditegakkan, demikian yang disampaikan Direktur Gapuspindo di kantor pusatnya di Jakarta Selatan, yang sebagian anggotanya terkena sanksi KPPU.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top