Khusus di Timor, bagian NTT, pertumbuhan daun pada pohon yang bagian rantingnya berduri tajam itu tak mengenal musim. Saat musim hujan atau selama musim kemarau, kabesak tetap berdaun padat dan hijau. Selama musim kemarau, daun kabesak menjadi pilihan utama pakan sapi. Namun, karena tegakannya tumbuh jarang, mendapatkan hijauan kabesak tentu saja bukanlah perjuangan enteng. Apalagi, daun tersebut juga menjadi rebutan peternak.Hingga menjelang puncak siang itu, Andreas bersama lima sapinya belum juga menemukan kabesak berdaun tebal. ”Saya harus terus mencari kabesak sampai dapat agar sapi-sapi bisa makan dan bertahan hidup. Sesudah itu sapi-sapi digiring lagi ke sumber air Taupi Ana, yang jaraknya sekitar 3 kilometer dari kampung,” tutur Andreas, mengisahkan perjuangan hidupnya.Ratusan peternak
Di Salbait dan sekitarnya, Andreas tidak sendirian. Tercatat ratusan peternak kini sedang berjuang agar ternaknya bisa bertahan hidup. Peternak Edison Kase, misalnya, dengan mengendarai sepeda motor terbantu menjelajahi kawasan hutan mencari kabesak bagi empat sapinya. Namun, tidak sedikit pula peternak yang gagal menyelamatkan sapi mereka.
Selain kelangkaan pakan, krisis air yang menimpa Salbait dan sekitarnya bertambah parah setelah tujuh embung dan sejumlah sumber air di sekitar daerah tersebut mengering. Padahal, pembangunan sejumlah embung itu semula diandalkan untuk mendukung usaha pengembangan sapi di kawasan tersebut.
”Sapi banyak yang mati, terutama setelah embung-embung mengering sejak Juli lalu. Peternak kini resah dan kebingungan bagaimana harus berusaha agar sapi-sapi yang tersisa bisa bertahan hidup,” tutur Ockto Boymau, petugas lapangan peternakan untuk wilayah Molo Barat, di Salbait.
Sekitar 300 peternak di Salbait dan sekitarnya sejak lebih dari setahun lalu tergabung dalam enam kelompok usaha. Untuk pengembangan usahanya itu, mereka memperoleh bantuan dari Pemerintah Provinsi NTT dan Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan berupa 176 sapi per kelompok. Namun, belakangan jumlah sapi terus berkurang akibat kematian menyusul kemarau panjang.
Dalam kelompok peternak Noen Mese yang dipimpin Melki Elbatu, misalnya, bantuan 176 sapi itu masih utuh hingga Januari lalu. Sembilan bulan kemudian, atau hingga akhir September lalu, jumlahnya berkurang tinggal 131 ekor setelah 45 sapi mati. Kondisi selama Oktober lalu belum didata, tetapi diduga jumlah sapi di kelompok tersebut terus berkurang karena ada sejumlah sapi yang mati belakangan.
Kejadian sama menimpa peternak dalam kelompok Tafeun Monit, yang dipimpin Albinus Selan. Sapi yang masih bertahan hidup hingga akhir Oktober lalu berjumlah 101 ekor. Itu berarti sapi yang mati lebih banyak, mencapai 75 ekor. Menurut Kepala Dinas Peternakan NTT Thobias Uly, ia sudah menurunkan tim khusus ke lokasi. Namun, solusi yang akan ditempuh guna menyelamatkan sapi yang masih tersisa belum diketahui secara pasti.
Menghadapi kemarau yang terus mengancam kawanan sapi di Salbait dan sekitarnya, Ockto Boymau, Andreas Batu, Albinus Selan, Melki Elbatu, dan peternak lain mengharapkan pemerintah segera membantu pembangunan sumur bor di kawasan itu. ”Enam kelompok itu membutuhkan sedikitnya 12 titik sumur bor untuk menyelamatkan kawanan sapi yang tersisa,” ujar Ockto.