Memburu Kabesak untuk Pakan Sapi

 Oleh: / Dikutip dari Harian KOMPAS Jumat, 7 November 2014
MOBIL  merangkak pelan ketika melintasi jalan tanah berbatu menyusuri kawasan gersang dan menghitam akibat kebakaran. Dari balik bukit tiba-tiba muncul seseorang yang sigap menggiring kawanan sapi. Bersama piaraannya, ia berjuang keras mencari kabesak, jenis pohon yang ranting dan daunnya diandalkan sebagai pakan tersisa menyusul kemarau yang berkepanjangan.
Gambaran itu merupakan penggalan kesaksian ketika mengunjungi Desa Salbait dan sekitarnya di Kecamatan Molo Barat, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, akhir Oktober lalu. Perjumpaan dengan peternak yang bermandikan keringat, meski belum memasuki puncak siang, berlangsung ketika perjalanan melintasi wilayah Desa Koa atau sekitar 6 kilometer sebelum perkampungan Salbait.
Kawasan itu sekitar 120 kilometer sebelah timur Kota Kupang atau lebih kurang 40 kilometer dari SoE, ibu kota Timor Tengah Selatan. Kunjungan Kompas ke Desa Salbait dan sekitarnya terkait dengan kematian ratusan sapi peliharaan peternak setempat. Seperti diberitakan, penyebab utama kematian ternak itu adalah krisis air dan kelangkaan pakan akibat kemarau panjang.
Peternak yang diketahui bernama Andreas Batu (62) itu menyimpan kisah memilukan. ”Sapi milik saya ini sejak pagi belum makan karena belum juga menemukan kabesak. Selama kemarau ini, hanya daun kabesak yang bisa menjadi makanan sapi, tetapi saya harus mencarinya ke mana-mana. Kabesak berdaun lebat sudah amat langka,” ujar ayah delapan anak itu.Kabesak atau pilang adalah jenis pohon dari suku Fabaceae yang tumbuh di daerah kering, seperti NTT.

Khusus di Timor, bagian NTT, pertumbuhan daun pada pohon yang bagian rantingnya berduri tajam itu tak mengenal musim. Saat musim hujan atau selama musim kemarau, kabesak tetap berdaun padat dan hijau. Selama musim kemarau, daun kabesak menjadi pilihan utama pakan sapi. Namun, karena tegakannya tumbuh jarang, mendapatkan hijauan kabesak tentu saja bukanlah perjuangan enteng. Apalagi, daun tersebut juga menjadi rebutan peternak.Hingga menjelang puncak siang itu, Andreas bersama lima sapinya belum juga menemukan kabesak berdaun tebal. ”Saya harus terus mencari kabesak sampai dapat agar sapi-sapi bisa makan dan bertahan hidup. Sesudah itu sapi-sapi digiring lagi ke sumber air Taupi Ana, yang jaraknya sekitar 3 kilometer dari kampung,” tutur Andreas, mengisahkan perjuangan hidupnya.Ratusan peternak

Di Salbait dan sekitarnya, Andreas tidak sendirian. Tercatat ratusan peternak kini sedang berjuang agar ternaknya bisa bertahan hidup. Peternak Edison Kase, misalnya, dengan mengendarai sepeda motor terbantu menjelajahi kawasan hutan mencari kabesak bagi empat sapinya. Namun, tidak sedikit pula peternak yang gagal menyelamatkan sapi mereka.

Selain kelangkaan pakan, krisis air yang menimpa Salbait dan sekitarnya bertambah parah setelah tujuh embung dan sejumlah sumber air di sekitar daerah tersebut mengering. Padahal, pembangunan sejumlah embung itu semula diandalkan untuk mendukung usaha pengembangan sapi di kawasan tersebut.

”Sapi banyak yang mati, terutama setelah embung-embung mengering sejak Juli lalu. Peternak kini resah dan kebingungan bagaimana harus berusaha agar sapi-sapi yang tersisa bisa bertahan hidup,” tutur Ockto Boymau, petugas lapangan peternakan untuk wilayah Molo Barat, di Salbait.

Sekitar 300 peternak di Salbait dan sekitarnya sejak lebih dari setahun lalu tergabung dalam enam kelompok usaha. Untuk pengembangan usahanya itu, mereka memperoleh bantuan dari Pemerintah Provinsi NTT dan Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Selatan berupa 176 sapi per kelompok. Namun, belakangan jumlah sapi terus berkurang akibat kematian menyusul kemarau panjang.

Dalam kelompok peternak Noen Mese yang dipimpin Melki Elbatu, misalnya, bantuan 176 sapi itu masih utuh hingga Januari lalu. Sembilan bulan kemudian, atau hingga akhir September lalu, jumlahnya berkurang tinggal 131 ekor setelah 45 sapi mati. Kondisi selama Oktober lalu belum didata, tetapi diduga jumlah sapi di kelompok tersebut terus berkurang karena ada sejumlah sapi yang mati belakangan.

Kejadian sama menimpa peternak dalam kelompok Tafeun Monit, yang dipimpin Albinus Selan. Sapi yang masih bertahan hidup hingga akhir Oktober lalu berjumlah 101 ekor. Itu berarti sapi yang mati lebih banyak, mencapai 75 ekor. Menurut Kepala Dinas Peternakan NTT Thobias Uly, ia sudah menurunkan tim khusus ke lokasi. Namun, solusi yang akan ditempuh guna menyelamatkan sapi yang masih tersisa belum diketahui secara pasti.

Menghadapi kemarau yang terus mengancam kawanan sapi di Salbait dan sekitarnya, Ockto Boymau, Andreas Batu, Albinus Selan, Melki Elbatu, dan peternak lain mengharapkan pemerintah segera membantu pembangunan sumur bor di kawasan itu. ”Enam kelompok itu membutuhkan sedikitnya 12 titik sumur bor untuk menyelamatkan kawanan sapi yang tersisa,” ujar Ockto.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top