Maksimum Security Importasi Produk Hewan

Keinginan Presiden Jokowi agar harga daging murah dan bisa diakses oleh banyak masyarakat, ternyata tidak mudah dilaksanakan. Perlu langkah ekstra hati hati dalam menerapkan impor produk ternak asal zona dalam suatu negara yang  belum bebas PHMU (penyakit hewan menular utama). Pasalnya, Importasi berbasis zona ini dibayangi oleh potensi munculnya PMK  yang dapat menghancurkan industri peternakan rakyat di Indonesia.

Dalam amar putusan yang dibacakan majelis Hakim Mahkamah Konstitusi No 129/PUU-XIII/2015 pada tanggal 7 Pebruari 2017,  MK memberikan pertimbangan bahwa permasalahan pemasukan hewan dan/atau produk hewan dari luar negeri ke dalam wilayah NKRI, khususnya yang berasal dari zona dalam suatu negara, harus didasarkan pada syarat keamanan maksimum dan kondisi yang mendesak serta kebutuhan masyarakat.

Atas dasar pertimbangan untuk melindungi hak hidup dan kelangsungan kegiatan perekonomian maka MK telah memutuskan bahwa pasal 36 E ayat 1 UU No 41 tahun 2014 dinyatakan bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945.

Persyaratan yang terdapat dalam amar putusan MK terhadap importasi produk hewan adalah; pertama, setiap impor produk hewan yang dibutuhkan haruslah memiliki sertifikat bebas penyakit mulut dan kuku dari badan kesehatan hewan dunia dan diakui oleh otoritas veteriner dari negara asal (country origin) dan Indonesia.

Kedua, impor produk hewan harus dilakukan dalam kondisi tertentu. Pengertian “dalam kondisi tertentu” adalah keadaan mendesak, antara lain, akibat bencana, saat masyarakat membutuhkan pasokan ternak dan atau Produk Hewan. Tanpa terpenuhinya syarat tersebut, pemasukan Produk Hewan dari zona dalam suatu negara atau dengan sistem zona ke dalam wilayah NKRI adalah inkonstitusional.

Pertanyaannya? Siapakah dan lembaga apakah yang menentukan kondisi tersebut? Pasalnya PP 3/2017 tetang Siskeswanas dan Otoritas veteriner baru diundangkan pada tanggal 20 Januari 2017 dimana dalam pasal 3 dan pasal 4 yang harus menentukannya kondisi tersebut.

Implikasi Putusan MK

Paska dibacakannya putusan MK membawa implikasi penting bagi tata kelola importasi hewan dan produk hewan di Indonesia. Implikasi pertama adalah bahwa importasi berbasis zona diperbolehkan dengan prinsip maksimum security sesuai dengan amar putusan MK No. 129/PUU-XIII/2015. Tantangan kedepan yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan kepastian hukum terhadap aktifitas importasi produk hewan yang terjadi paska pembacaan putusan ini. Jangan sampai, pelaku bisnis importasi dituduh melakukan hal yang inkonstitusional, atau karena persyaratannya belum dipenuhi sehingga aktifitasnya dinilai tidak legal.

Sidang uji materi UU Peternakan dan keswan di MK
Sidang uji materi UU Peternakan dan keswan di MK

Kedua, pemerintah perlu segera membentuk otoritas veteriner yang akan berperan dalam memastikan keamanan pangan terhadap barang yang diimpor. Saat ini PP No. 3/2007 tentang Otovet dan Siskeswanas yang baru diterbitkan, menjadi acuan terhadap putusan MK No. 129/PUU-XIII/2015 . Putusan MK ini, harus mampu dilengkapi oleh kebijakan turunannya sehingga importasi hewan dan produk hewan dari luar negeri tidak menjadi kendala atau hambatan dalam memenuhi kebutuhan konsumen di dalam negeri.

Ketiga, pemerintah pun harus menentukan Institusi mana yang berwenang untuk menetapkan kondisi “dalam hal tertentu” sehingga diperlukan importasi komoditi hewan dan produk hewan di dalm negerin. Apakah ini menjadi kewenangan Kementrian Pertanian, atau Kementrian Perdagangan, Kementrian Koordinator Perekonomian, atau menjadi kewenangan presiden? Hal ini tentu perlu diatur dalam suatu regulasi. Tantangan dalam penyusunan regulasi ini bagaimana menata persyaratan keadaan tertentu yang mengharuskan terjadinya importasi tanpa menjadikannya sebagai non tarif barrier bagi perdagangan internasional.

Harmonisasi Kebijakan

Putusan MK telah memberikan rambu yang jelas bahwa importasi berbasis zona bukanlah hal yang keliru. Namun demikian pelaksanaannya harus dilaksanakan dengan prinsip kehati hatian dan keamanan maksimal. Pemerintah, DPR, dan KPPU  serta lembaga pemerintahan lainnya yang terlibat dalam pembangunan peternakan nasional harus mulai berbenah untuk menata regulasi baru  atau melakukan harmonisasi kebijakannya dalam mengimplementasikan amar putusan MK ini.

Kiranya, pertanyaan-pertanyaan yang muncul di masyarakat yang muncul paska putusan MK No. 129/PUU-XIII/2015 perlu disosialisasikan dan didiskusikan dengnan berbagai nara sumber untuk memberikan kejelasan bagi masyarakat peternak dan pelaku bisnis peternakan.

Demikian rilis yang disampaikan oleh Yeka Fatika ketua pusat kajian pertanian pangan dan Advokasi (Pataka) Bogor (08/02/17).

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top