Liputan Sapibagus untuk BBC Indonesia

Awal bulan ini sapibagus mendapatkan kesempatan untuk bisa berbagi dengan media BBC INDONESIA. Berikut ini liputan hasil wawancara tim BBC dengan pemilik sapibagus Edy Wijayanto. Liputan asli bisa dilihat di laman berikut BBC INDONESIA

Jam menunjukkan pukul 06.00 di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Ibu Sumi sudah berada di kios daging langganannya. Hari itu dia berencana memasak rendang untuk menu buka puasa keluarga. Namun, Ibu Sumi harus mengeluarkan uang ekstra lantaran daging yang diinginkannya ternyata mencapai Rp120.000/kilogram.

“Naik terus harganya. Sekarang Rp120.000 per kilogram, kemarin malah sempat Rp130.000 per kilogram. Sekarang apa-apa mahal,” kata Ibu Sumi.

Harga daging yang berkisar antara Rp110.000 hingga Rp120.000/kilogram tidak klop dengan target Rp80.000/kilogram yang dikehendaki Presiden Joko Widodo.

harga-daging-sapi-lokal-2016
Image caption Harga daging sapi belum bisa mencapai Rp80.000/kilogram sebagaimana dikehendaki Presiden Joko Widodo.

Suherman, seorang pedagang daging sapi di Pasar Kebayoran Lama, mengatakan harga Rp80.000/kilogram sulit dipenuhi karena belum bisa menutupi modalnya.

“Rp80.000 per kilogram daging apaan? Kita, pedagang, modalnya saja sudah lebih dari itu. Kita kan juga mau untung,” ujar Suherman.

Secara terpisah, Presiden Joko Widodo meminta masyarakat untuk bersabar. Sebab, menurutnya, harga daging sapi tidak bisa turun hanya dalam hitungan hari.

edy-wijayanto-sapibagus-bbc
foto: BBC
Image caption Edy Wijayanto, pemilik peternakan sekaligus laman sapibagus.com

“Nggak mungkin turun dalam sehari, dua hari, tiga hari. Nanti silakan dilihat. Kalau sudah sampai harganya di posisi yang kita inginkan, saya akan ke pasar. Ini kan demand dan supply. Sebagian daging kan belum sampai,” ujar Presiden Jokowi, merujuk kebijakan penambahan daging sapi impor sebanyak 27.400 ton.

Permintaan bertambah

Untuk mengetahui mengapa harga daging sapi sulit mencapai Rp80.000/kilogram saya bertolak ke peternakan sapi di Kecamatan Tapos, Depok, Jawa Barat, milik Edy Wijayanto.

Di lahan seluas 4.000 meter, Edy yang juga menjual sapinya lewat laman sapibagus.com menampung sekitar 250 ekor sapi dari berbagai jenis, termasuk sapi Bali, sapi Limosin, dan sapi dari Australia.

Edy mengakui bahwa pada saat Ramadan, permintaan daging sapi di pasar cukup melonjak. Apabila pada hari biasa dia menjual tiga hingga lima ekor sapi, Edy bisa menjual 10 ekor sapi pada hari Ramadan. Lonjakan permintaan itu, menurutnya, praktis menyebabkan pasokan menjadi terbatas. Hal inilah yang mendorong kenaikan harga daging sapi.

Faktor berikutnya, kata Edy, adalah perilaku konsumsi masyarakat Indonesia pada saat Ramadan.

“Pada saat Ramadan, masyarakat Indonesia mencari daging sapi murni dan tidak makan jeroan, kaki, dan bagian tubuh sapi yang lain. Jeroan dan sebagainya kan tidak laku, nah para pedagang melakukan kompensasi dengan membebankannya ke harga daging sapi,” ujar Edy.

edy-wijayanto-bbc
foto: BBC


Ketika ditanya apakah harga Rp80.000/kilogram realistis, Edy mengaku harga itu mustahil dicapai.

“Kalau bicara harga daging sapi lokal, tidak mungkin. Mengapa? Sapi lokal sudah di angka Rp45.000/kilogram, timbangan hidup. Kemudian sapi ini masuk ke Rumah Pemotongan Hewan, dijual karkasnya atau tulang beserta daging, dengan harga Rp90.000/kilogram. Kemudian ketika daging sapi beserta tulang itu masuk pasar, harganya menjadi Rp105.000 atau Rp110.000/kilogram, tergantung daerah dan pasarnya,” papar Edy.

Edy menambahkan, harga daging sapi memang bisa mencapai Rp80.000 per kilogram. Namun, daging sapi yang dijual adalah daging sapi beku impor yang memiliki kadar lemak sekitar 15% setiap kilogramnya.

Hal ini diamini Haji Zainal, seorang pedagang daging sapi di Pasar Rumput, Jakarta Selatan.

“Kalau dagingnya dikeluarkan dari boks, keadaannya masih beku. Memang murah. Tapi, kalau dibeli satu kilogram, sampai di rumah esnya lumer dan beratnya tidak satu kilogram lagi. Paling 8 ons. Tetap mahal,” kata Haji Zainal.

Karena itu, menurut Haji Zainal, para pembeli daging lebih memilih daging sapi lokal yang segar. Sejumlah pembeli yang sedang antre di depan kiosnya menganggukkan kepala tanda sepakat. Misalnya, Ibu Surti, seorang pedagang dendeng yang mengaku membeli daging sapi lokal.

jual-sapi-bali
Image caption Jenis sapi yang dijual Edy Wijayanto, antara lain sapi Bali, sapi Limosin, hingga sapi dari Australia.

“Langganan saya kabur kalau saya menggunakan daging beku impor. Mereka lebih suka dengan bahan baku daging sapi lokal,” ujarnya.

Populasi terbatas

Walau daging sapi lokal populer, faktanya populasi sapi lokal di Indonesia sangat terbatas dan sulit mengimbangi permintaan penduduk, sebagaimana dijelaskan Prof Dr Ir Sugiyono, Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB).

“Sapi lokal memang terlalu sedikit. Yang ada itu sekitar 14 juta ekor se-Indonesia, kemudian yang bisa dipotong di bawah 10%,” ujarnya.

Lalu, mungkinkah jumlah sapi di Indonesia ditingkatkan untuk memenuhi permintaan masyarakat Indonesia?

“Namanya sapi, untuk bisa menjadi daging, ditentukan oleh pakan. Sedangkan untuk pakan beberapa sudah impor. Perlu juga lahan yang luas untuk beternak sapi. Namun, karena pertumbuhan penduduk, tempat-tempat yang dipakai untuk peternakan semakin berkurang,” kata Sugiyono.

Sugiyono juga menilai pemerintah menetapkan banyak komoditas pangan yang dianggap strategis, tetapi tidak melakukan langkah-langkah agar Indonesia bisa berswasembada pangan.

“Kenyataannya menjadi realistis, yaitu memanfaatkan negara lain yang punya keunggulan bisa menjual lebih murah, seperti daging sapi kasus sekarang, impor,” tutupnya.

Anda bisa menyimak tulisan ini dalam versi audio melalui program Dunia Bisnis yang disiarkan BBC Indonesia melalui mitra stasiun radio lokal pada Senin, 13 Juni 2016, pukul 05.00 WIB

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top