Kontroversi Uji Materi UU Peternakan

Oleh: Rochadi Tawaf – Dosen Peternakan Universitas Padjadjaran dan Persepsi Jabar

Operasi tagkap tangan yang dilakukan KPK terhadap PA, salah seorang hakim MK, kini menjadi trending topik berkaitan dengan uji materi UU. 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH). Kasus ini menjadi menarik lantaran UU No. 41/2014 tentang PKH yang kontroversial sejak UU ini diproses sampai diundangkan. UU ini merupakan revisi atas UU No.18/2009 tentang PKH hasil uji materi oleh Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 137/PPU-VII/2009. Khususnya materi mengenai impor ternak dan produk ternak yang berasal dari “zona dalam suatu negara” atau berasal dari “suatu negara”.

Materi ini sangat menarik perhatiaan para importir, khususnya daging sapi, yang berkepentingandalam bisnisnya. Sementara para peternak sapi didalam negeri melihat dari sisi upaya memproteksi usaha ternakanya terhadap kemungkinan terjangkitnya PHMU (penyakit hewan menulaar utama). Sebab , disadari nahwa kondisi infarastruktur pendukung kesehatan hewan nasional yang masih sangat lemah, di sisi lain negara ini sudah terbebas dari penyakit mulut dan kuku yang perjuangan selama seratus tahun.

Tetntunya para Importir daging akan sangat mendukung kebijakan importir yang berasal dari zona ini lantaran harga komoditas yang berasal dari negara-negara tersebut relatif lebih murahaaaaaaaa harganya. Itulah sebabnya pada kasus ini keterlibatan para importir daging sangat kental.

Sekuriti Maksimum

Sesungguhnya kontrovesi dalam UU ini awalnya pada pertimbangan konsiderannya; bahwa dalam penyelengaraan peternakan dan kesehatan hewan, upaya pengamanan maksimal terhadap pemasokan dan pengeluaran ternak, hewan, serta produk hewan, pencegahan penyakit hewan dan zoonois, penguatan otoritas veterier, persyaratan halal bagi produk hewan yang dipersyaratkan, serta penegakan hukum terhada pelanggaran kesejahteraan hewan.

Realitasnya dalam pasal-pasal pada batang tubuh yang diubah dalamUU ini malah justru sebaliknya sekuriti minimum. Misalnya pasal 59 ayat 2 pada UU No. 18/2009 bahwa produk hewan yang dimasukkan ke Indonesia boleh dari suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukan produk hewan. Pasal ini sebenarnya telah di ubah oleh MK pada tahun 2010 lalu menjadi “berasal dari suatu negara” bukan berasal dari zona dalam suatu negara, tentunya dengan mempertimbangkan “sekuriti maksimum”. Namun faktanya, dalam UU No. 41/2014 hal tersebut muncul kembali di pasal 36C, yaitu sebagai berikut: Bahwa permasalahan ternak ruminansia indukan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat berasal dari suatu negara atau zona dalam suati negara telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukannya. Pasal ini jelas-jelas tidak memperhatikan keputusan uji materi yang dilakukan oleh MK di tahun 2010 lalu.

rochadi-Tawaf

Siskeswanas & Otovet

Sesungguhnya,inti masalah uji materi para peternak sapi adalah mengenai kebijakan berbasis zona. Kebijakan ini bisa diterpkan sepanjang pemerintah melakukan tahapan yang sesuai dengan saran Tim Analisa Resiko Independen (TARI) yahun 2008. Yaitu, sebagai berikut; (1) perlu dilakukan analisis akademik silang terhadap resiko dan manfaat dari zona base ataupun country base. (2) Adana kesiapan sumber daya manusia, sarana dan prasarana, serta sistem kesehatan hewan yang mampu mendukung program mitigasinya. (3) Kelayakan ekonomi finansial ditinjau dari biaya tansportasi, loading dan unloading, karantina, pengamatan dan lainnya. (4) Faktor keamanan yaitu jaminan terhadap lalu lintas keluar masuk wilayah/trace ability secara berkelanjutan, termasuk perangkat SPS dan ALOP (Iacceptable level of protection) untuk penyakit mulut dan kuku (PMK) dan (5) Ketersediaan dana tanggap darurat siap pakai serta peningkatan kemampuan surveilan PMK dari Pusvetma di Surabaya ke laboratorium veteriner regional (BPPV/BB Vet) di seluruh Indonesia.

Kesemua saran dan tindakan tersebut tentunya perpegang kepada konsep sekuriti maksimum terhadap kemungkinan peluang terjadinya outbreak penyakit hewan menular utama bila negeri ini mengadopsi zona base. Faktanya sampai saat ini selruh persyaratan yang diharuskan ada oleh tim TARI masih belum tampak. Artinya, amanat pasal 68-E pada UU 41/2014 menerbitkan PP tentang siskeswanas ( sistem kesehatan hewan nasional ) dan otover ( otoritas veteriner) sampai saat ini tiak dilakukan pemerintah. Sesungguhnya hal ini adalah biang persoalan yang menjadi penyebab semua ini terjadi. Oleh karena itu, sangat bijaksana jika pemerintah segera menerbitkan PP mengenai sikeswanas dan otovet sesegera mungkin.

Jika saja MK mengabulan permohonan uji maeri mengenai kebijakan impor “berdasarkan negara” bukan berdasarkan “ pembangunan peternakan nasional akan lebih kondusif. Namun, jika saja MK mengabulkan impor daging/sapi dari “negara berbasis zona”, kemungkinan resiko kerugian yang akan terjadi selain penuruna produksi dan produktivitas ternak, jika terhadap peluang ekspor komoditas pertanian, pariwisata, tenaga kerja, dan menurunnya pembangunan ekonomi pedesaan akan menjadi beban bagi negara ini.

Sumber : Pikiran Rakyat – Senin, 30 Januari 2017 ,Hal 26

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Scroll to Top